Geram, gusar, pingin ketawa bercampur marah, ataupun
senang mungkin itu ekspresi kita semua ketika membaca atau melihat
berita-berita di media massa tentang warna-warni pemilu legislative yang baru saja dilaksanakan 9 April lalu. Memang
pemilu legislative baru saja dilaksanakan, namun nuansa persaingan dan
ketegangan sampai saat ini masih terasa, bukan hanya
dirasakan oleh para caleg
itu sendiri, tim sukses, penyelenggara pemilu, melainkan juga dirasakan oleh
simpatisan-simpatisan yang menginginkan jagonya menang dan tampil untuk
menduduki singga sana yang sangat mahal “harganya”. Tapi memang, pemilu kali
ini kelihatannya dapat mengurangi angka golput dibandingkan dengan
pemilu-pemilu sebelumnya, pasalnya pada pileg kali ini sebagian masyarakat
mempunyai jago masing-masing yang didukungnya.
Namun, sisi lain dari proses
pemilu kali ini patut menjadi perhatian kita semua, terlebih khusus bagi penyelenggara
pemilu. Kita semua mungkin lihat berita-berita di media cetak maupun elektronik
tentang noda-noda pelanggaran pemilu yang mengurangi keindahan daya tarik pesta
demokrasi di bangsa ini. Berita mulai dari permasalahan proses penetapan daftar
caleg, daftar pemilih, dan hal-hal lain yang menjadi perangkat pemilu senantiasa menghiasi keseharian kita semua,
dan yang paling menyita perhatian menurut penulis adalah pasca pemilihan 9
April lalu.
Ada banyak cerita yang bisa menjadi pelajaran penting bagi
bangsa kita ke depan, khususnya menjelang hari H, seperti halnya ada dugaan
bagi-bagi uang untuk calon pemilih, dan
ketika proses pemilu itu berlangsung. Pada pemilu
kali ini, di tempat penulis berdomisili khusunya, banyak catatan-catatan
pelanggaran yang menodai pesta demokrasi
tersebut, seperti data yang dirilis Kaltim Post edisi 12 April 2014, terdapat
12 laporan pelanggaran, baik yang bersifat administratif maupun pidana. Misalnya
saja adanya pemilih yang ingin mencoblos lebih dari satu kali, permainan KPPS
entah disengaja atau tidak, dan yang lebih parah lagi adanya dugaan jual beli
surat undangan C-6, dan mungkin masih banyak lagi isu-isu kecurangan pemilu
yang tidak terdeteksi oleh Panwaslu. Mungkin inilah yang namanya “demokrasi”,
semua orang bebas melakukan apa saja tanpa mempedulikan efek yang diakibatkan
baik secara langsung maupun jauh di masa depan. Hal ini tentu tidak boleh
dibiarkan jikalau betul-betul bangsa ini ingin maju dan bebas dari cengkraman
KKN yang saat ini menjadi musuh bersama. Mengacu pada pengertian demokrasi
menurut Abraham Lincoln (demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat),
maka seluruh masyarakat Indonesia tentunya berhak dan bertanggungjawab atas proses demokratisasi bangsa ini.
Di tengah maraknya isu-isu kasus korupsi yang menjerat
para wakil rakyat, maka dari itu tentu perlu diperbaiki mulai dari proses pemilihan wakil rakyat itu sendiri.
Proses pemilu ke depan tentu harus diperbaiki dan ada upaya yang serius untuk
meminimalisir kecurangan-kecurangan yang terjadi. Menurut penulis, yang menjadi
akar sumber dari kecurangan adalah sumber daya manusia itu sendiri, baik pihak
penyelenggara maupun peserta pemilu yang tidak mempunyai integritas dan
nilai-nilai kejujuran. Untuk mengatasi hal tersebut memang bukanlah hal yang
mudah, karena persoalan yang diatasi sangat abstrak berkaitan dengan jiwa
seseorang, namun masalah tersebut juga tidak boleh menyurutkan langkah
penyelenggara pemilu dalam upaya perbaikan. Menurut penulis ada langkah yang
progresif oleh penyelenggara pemilu tentang perbaikan sistem yang dapat
meminimalisir kecurangan-kecurangan tersebut, antara lain:
1.
KPU
sebagai penyelenggara dan pemegang kebijakan melakukan restrukturisasi ataupun
roling pihak-pihak penyelengara di bawahnya, misalnya PPK, PPS dan sebagainya
dalam upaya meminimalisir ikatan emosional yang dapat membuka peluang
terjadinya kecurangan.
2.
KPU
juga harus memperbaiki perangkat pemilu, misalnya surat undangan harus disertai
dengan tanda dari KPU yang tidak bisa diduplikat, contohnya memakai hologram/sejenisnya,
serta memperbaiki tinta tanda telah mencoblos, karena sampai sejauh ini isu-isu
yang terdengar tinta tersebut masih bisa dihapus dalam waktu yang singkat.
3.
Berkaca
pada pemilu yang baru saja selesai, penulis mendapatkan banyak informasi tentang
kebingunagan masyarakat mengenai pemilu tersebut, untuk itu ke depan, KPU juga betul-betul memastikan informasi tentang
pemilu tersebut sampai pada masyarakat, tidak hanya mengacu pada informasi dari
pihak PPK, PPS atau RT, melainkan dari masyarakat itu sendiri, karena bisa jadi
di situ ada pemalsuan informasi. Dalam hal ini mungkin dari KPU sudah ada upaya
maksimal, namun belum tentu upaya itu ketika sampai pada PPK, PPS, ataupun RT
sampai juga pada masyarakat luas.
4.
Dalam
hal pemutakhiran data, hendaknya KPU juga melibatkan pihak-pihak yang mempunyai
idealisme tinggi, misalnya saja mahasiswa yang identik dengan idealismenya.
Karena sumber masalah pemilu juga berkaitan erat dengan Daftar Pemilih Tetap
(DPT), untuk itu perlu melibatkan pihak-pihak yang mempunyai idealisme tinggi
guna mendapatkan data yang valid.
5.
Dalam
hal pendistribusian surat undangan pemilih, hendaknya KPU betul-betul mengawal
sampai pada tingkat paling bawah (masyarakat), karena sangat dimungkinkan akar
terjadinya jual beli surat undangan bisa jadi terletak pada PPK, PPS ataupun
RT.
6.
Dan
yang paling penting ketika proses pemilu di lapangan, hendaknya KPU membuat
kebijakan berkaitan dengan perangkat pemilih, misalnya saja ketika masyarakat
hendak memilih harus menggunakan surat undangan yang syah beserta KTP calon
pemilih. Tanpa hal tersebut, akan sangat sulit untuk mengidentifikasi bahwa
surat undangan yang dibawa calon pemilih betul-betul memang haknya atau punya
orang lain, karena pada pemilu-pemilu sebelumnya banyak terjadi surat undangan
tak bertuan alias orang yang tidak mempunyai KTP, bahkan bukan penduduk
setempat bisa mencoblos. Menurut penulis, ini adalah upaya yang paling jitu
untuk meminimalisir kecurangan sekaligus meminimalisir adanya jual beli surat undangan.
Demikian rumusan-rumusan yang penulis tuangkan, upaya-upaya
tersebut paling tidak dapat
meminimalisir kecurangan-kecurangan pemilu
hingga sampai pada pemilu yang dicita-citakan bangsa Indonesia ke depan,
menuju bangsa yang demokratis.
diambil dari clampik.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar